Oleh: Muhammad Bijak Ilhamdani (Anggota DPRD PPU)

TAKAMEDIA.ID, PENAJAM – Sejak awal penunjukan Pak Purbaya sebagai Menteri Keuangan, saya langsung terkesan dengan gaya beliau dalam merespons ekspektasi publik. Salah satu tantangan pertama yang dihadapi adalah kebijakan untuk melanjutkan pengurangan alokasi Transfer ke Daerah (TKD).

Gelombang penolakan dari berbagai penjuru Nusantara pun tidak terelakkan, sebagaimana terlihat dari aksi protes 18 gubernur yang secara langsung menemui beliau di kantor Kementerian beberapa waktu lalu.

Dari sudut pandang daerah, kebijakan ini dapat dianggap sebagai “bencana fiskal”, mengingat masih tingginya ketergantungan sebagian besar pemerintah daerah terhadap TKD.

Sebagai contoh, di Kabupaten Penajam Paser Utara, daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) tingkat ketergantungan terhadap TKD pada tahun 2026 diperkirakan mencapai sekitar 80 persen dari total APBD. Di dalamnya termasuk komponen-komponen fiskal mendasar seperti belanja modal, belanja operasional, hingga belanja pegawai yang semuanya merupakan instrumen krusial bagi pertumbuhan ekonomi daerah.

Meskipun saat ini proses penyusunan APBD Murni Tahun 2026 masih dalam tahap pembahasan antara TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) dan Banggar (Badan Anggaran) DPRD, berdasarkan surat dari Kementerian Keuangan RI terkait rancangan alokasi TKD tahun 2026.

Saya memprediksi bahwa nilai total APBD PPU tahun 2026 akan berada di kisaran Rp1,7 triliun hingga Rp1,8 triliun. Ini menunjukkan potensi penurunan yang cukup signifikan dibandingkan dengan APBD tahun 2025, yang mencapai sekitar Rp2,4 triliun setelah pengesahan APBD Perubahan.

Penurunan ini tentu akan memberikan tekanan fiskal yang luar biasa terhadap laju pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, serta kapasitas pemerintah daerah dalam menjaga stabilitas pelayanan publik dan kesinambungan pembangunan.

Keterbatasan fiskal ini berisiko menghambat pelaksanaan program-program prioritas daerah, menurunkan kualitas layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, bahkan berpotensi menimbulkan fiscal distress yang memaksa pemerintah daerah melakukan rasionalisasi anggaran secara ketat.

Pada titik tertentu, kondisi ini dapat berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat serta melemahkan kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah daerah, khususnya di level lokal.

Menariknya, di saat yang sama, alokasi anggaran untuk sejumlah kementerian justru mengalami peningkatan. Walaupun Pak Menteri telah menyampaikan bahwa pengurangan TKD didasarkan pada pertimbangan produktivitas terutama karena rendahnya efektivitas belanja di daerah selama ini dan bahwa pemerintah pusat akan meningkatkan intervensinya melalui program strategis daerah dalam APBN, tetap saja langkah ini berpotensi mengikis semangat desentralisasi, otonomi daerah, dan pemerataan pembangunan yang selama ini menjadi fondasi utama hubungan fiskal antara pusat dan daerah.

Tahun 2026 dipastikan akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Namun di sisi lain, kondisi ini juga bisa menjadi momentum lahirnya inovasi kebijakan dan kreativitas fiskal dalam menjalankan roda pemerintahan yang lebih efektif dan efisien.

Pemerintah daerah dituntut untuk tidak lagi sekadar menjadi pelaksana kebijakan pusat, melainkan mampu membangun strategi pendapatan yang lebih mandiri, memperkuat sinergi lintas sektor, serta mengoptimalkan potensi lokal sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Harapannya, pemerintah pusat dapat memastikan bahwa kebijakan pengurangan TKD ini disertai dengan tanggung jawab dan komitmen yang kuat, agar benar-benar memberikan dampak positif bagi pembangunan daerah dan memperkuat fondasi keuangan nasional di masa mendatang. (Red)

Exit mobile version